Jumat, 11 September 2009

Shalat Tarawih

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya


Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.

Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي

”Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:

أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان

“Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah.

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah".

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:

وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .

“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

www.nu.or.id

Fasal Tentang Lailatul Qadar (1)

Sudah sering kita dengar istilah Lailatul Qadar, bahkan selalu lekat dalam ingatan. Namun demikian, nyatanya kita tidak akan pernah mengenal hakikat Lailatul Qadar itu sendiri, lantaran masalahnya amat ghaib. Pengetahuan kita terbatas hanya pada apa yang telah ditunjukkan di dalam berbagai nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta interpretasinya.

Secara etimologis, “lailah” artinya malam, dan “al-qadar” artinya takdir atau kekuasaan. Adapun secara terminologis, dapat kita coba dengan cara mengamati ayat berikut ini :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malm kemuliaan (Lailatul Qadar)” (QS Al-Qadar (97):1)


Dari pernyataan bahwa Al-Qur’an tersebut diturunkan pada saat Lailatul Qadar, dapat kita tangkap pengertian, yakni; pertama , Lailatul Qadar merupakan dari suatu malam, saat diturunkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Walhasil, Lailatul Qadar itu terjadi hanya satu kali, tidak sebelum dan sesudahnya. Akan tetapi keagungan dan keutamaannya itu diabadikan oleh Allah SWT untuk tahun-tahun berikutnya. Tegasnya, Lailatul Qadar yang ada sekarang ini, hanyalah semacam hari peringatan yang memiliki berbagai keistimewaan yang sangat luar biasa.

Kedua, Lailatul Qadar merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan, yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al Qur’an secara keseluruhan.

Kedua pengertian tersebut di atas, merupakan hasil analisa yang boleh jadi dapat diterima oleh semua pihak, lantaran sama sekali tidak mengingkari keutamaan Lailatul Qadar. Sedangkan hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sementara lailatul Qadar itu sendiri, dalam sebuah ayat dinyatakan sebagai Lailah Mubarakah (ةalam kebaikan).

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.”(Q.S Ad Dukhaan (44):3)

Dalam masalah ini, para Muffasir menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu adalah saat diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzhke Baitul’Izzah, sebelum diwahyukan kepada Rasulullah SAW secara berangsur. Olah sebab itu, tidaklah dapat disamakan antara Lailatul Qadar dengan Nuzulul Qur’an atau turunnya ayat pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

Betapa mulia dan begitu istimewanya Lailatul qadar itu, sebagai rahmat dan nikmat Allah SWY bagi seluruh ummat Muhammad. Sehingga tak satupun dari kita yang tak suka jika mampu meraihnya. Dan wajar pula, jika malam jatuhnya Lailatul Qadar itupun selau dipertanyakan, bahkan nyaris selalu menimbulkan perselisihan pendapat.

Kapan Lailatul Qadar?

Menurut suatu pendapat ; Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ke 27 setiap bulan Ramadhan. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا، فَلْيَتَحَرِّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Siapapaun mengintainya maka hendaklah mengntainya pada malam ke dua puluh tujuh.” (HR. Ahmad dari Ibnu ‘Umar)

Sementara menurut pendapat yang lain; perintah Rasulullah SAW untuk mengintai pada malam ke 27 itu, bukan merupakan suatu kepastian bahwa Lailatul Qadar akan terjadi pada malam itu. Akan tetapi hanya sebagai petunjuk, bahwa pada malam itu memang kemungkinan besar akan terjadi. Terbukti dengan permyataan Rasulullah SAW sendiri dalam hadist yang lain.

أخْبَرَنَا رسول الله صلى الله عليه و سلم عن لَيْلَةِ الْقَدْرِقال : هي في رمضان في العشر الأواخر ، في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخِرِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah SAW telah memberitakan kepadaku tentang Lailatul Qadar. Beliau bersabda: “Lailatul Qadar terjadi pada Ramadhan; dalam sepuluh hari terakhir. Malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan atau ,malam terakhir.”

Adapun yang dimaksud dengan malam terakhir dalam hadts di atas, tentunya jika sebulan Ramadhan itu hanya 29 hari. Sehingga malam yang ke 29 otomatis merupakan malam terakhir.

Dengan demikian, menurut kami pendapat yang kedua ini jauh lebih dasarnya ketimbang pendapat pertama. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa; jatuhnya Lailatul Qadar itu sama sekali tak dapat ditentukan secara pasti. Lantaran perupakan rahasia Allah SWT.

Lailatul Qadar yang agung itu—sebagaimana jawaban terdahulu sangantlah ghaib malam jatuhnya. Namun demikian, Rasulullah SAW telah memberi petunjuk kepada ummatnya bahwa jatuhnya itu di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari Ramadhan terakhir. Maka tidak mustahil, jika diantara hari-hari itu setiap tahunnya akan berubah-ubah, sebagaimana dapat dicerna pula dari berbagai hadits yang berbeda-beda penjelasannya.

Kemungkinan berubah-ubah tersebut, jika dimaksudkan bahwa Lailatul Qadar itu merupakan sebutan dari suatu malam pada setiap bulan Ramadhan yang dahulu kala pernah bersamaan dengan peristiwa diturunkannya Al-Qur’an secara keseluruhan. Adapun jika dimaksudkan bahwa, Lailatul Qadar hanya semacam hari peringatan, maka tidak mungkin jatuhnya Lailatul Qadar itu akan berubah, bahkan sampai kiamat nanti.

Selain itu, nampaknya perlu kita sadari pula, bahwa tidak adanya kepastian pada malam tertentu tentang jatuhnya Lailatul Qadar ini, justru banyak membawa hikmah yang antara lain, untuk mandapatkan keutamaan dan berkah dari saat turunnya Lailatul Qadar itu, kaum Muslimin tidak hanya dengan bertekun ibadah semalam saja. Akan tetapi harus selama 10 malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW beserta keluarganya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua PP Lembaga Bahtsul Masa’il NU

www.nu.or.id

Ulama NU Belum Satu Kata tentang Bank Syariah

HALAQAH PRA MUKTAMAR
Ulama NU Belum Satu Kata tentang Bank Syariah


Jakarta, NU Online

Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) rupanya belum satu kata atau belum memiliki kesamaan pendapat tentang keberadaan bank syariah. Pasalnya, di dalam praktiknya, lembaga keuangan berbasis sistem syariat Islam itu ternyata juga banyak mengalami masalah.

Perbedaan pendapat itu mengemuka dalam Halaqah Pra-Muktamar ke-32 NU Komisi Maudlu’iyah Waqi’iyah yang diikuti utusan pengurus wilayah NU se-Indonesia serta pengurus lembaga, lajnah dan badan otonom NU, di Hotel Bintang, Jakarta, Selasa (18/8).

Wakil Ketua Lembaga Takmirul Masajid Indonesia (LTMI NU), Mukhlas Syarkun, menilai, dalam beberapa kasus, bank syariah ternyata tak ada bedanya dengan bank konvensional. Ia menyebut ada “pelanggaran syariah dalam praktik bank syariah”.

Mukhlas menjelaskan, bank syariah memang tidak mengenal bunga (riba). Namun, dalam praktik pemberian kredit, misalnya, diberlakukan sistem agunan. Sementara, tidak semua orang, terutama kaum miskin, yang dapat memberikan agunan untuk mendapatkan kredit.

“Di sinilah bank syariah bisa disebut tidak syar’i (bertentangan dengan syariat Islam) karena hanya orang-orang yang dapat memberikan jaminan (agunan) yang dapat menerima kredit. Sedangkan orang yang sangat miskin, tidak punya apa-apa, tidak bisa memberikan jaminan, tidak bisa menerima kredit,” terang Mukhlas.

Ia justru mengaku lebih sependapat dengan konsep Grameen Bank di Bangladesh yang dikembangkan Muhammad Yunus. Lembaga keuangan Grameen Bank mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum.

Grameen Bank berbeda dengan bank konvensional karena tidak menggunakan system jaminan. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok itu mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

“Konsep bank seperti ini, menurut saya, lebih syar’i (sesuai syariat Islam) daripada bank syariah sendiri, karena dapat mengangkat (membantu) perekonomian masyarakat miskin yang paling miskin sekalipun,” jelas Mukhlas.

Pendapat berbeda dikemukakan Rais Syuriyah Pengurus Besar NU yang juga Ketua Komisi Maudlu’iyah Waqi’iyah itu, KH Masyhuri Naim. Menurutnya, secara umum, bank syariah tidak bertentangan dengan syariat Islam. Salah satu alasannya, kata dia, tidak adanya bunga bank yang memang diharamkan dalam Islam.

“Hanya, dalam praktiknya memang tidak sepenuhnya baik seperti dalam teorinya sendiri. Tapi, itu wajar saja. Kita (ulama NU) bukan tidak setuju dengan bank syariah. Kita hanya mengkritik kelemahan-kelemahan yang ada dalam praktik bank syariah itu sendiri,” jelas Kiai Masyhuri—begitu panggilan akrabnya.

Karena itu, imbuh Kiai Masyhuri, beragam persoalan seputar perekonomian dan perbankan syariah yang mengemuka dalam halaqah tersebut akan dibahas dan dikaji lebih mendalam pada Muktamar di Makassar, Sulawesi Selatan, Januari 2010 mendatang. (rif)

HALAQAH PRA MUKTAMAR

Jabatan Ketua Umum Badan Otonom Diusulkan Cukup Sekali

Jakarta, NU Online


Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam halaqah pra muktamar bidang organisasi, Selasa (18/8) di Jakarta, adalah keinginan untuk mengatur batasan umur dan masa jabatan ketua umum badan otonom NU, khususnya yang bergerak di bidang pengkaderan, yaitu IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Fatayat NU.

Sebagai misal, GP Ansor yang usianya sudah lebih dari 50 tahun ini, Ansor baru memiliki ketua umum sebanyak tujuh orang, sebuah proses regenerasi yang lambat. Hal yang sama juga terjadi di tingkat cabang, yang mana seorang ketua cabang baru menduduki posisisnya dengan usia diatas 40 tahun.

Fatayat NU dalam kongres terakhirnya pada tahun 2005 malah menambah batasan usia maksimal menjadi 45 tahun untuk pengurusnya sehingga selesai masa bakti sudah mendekati umur 50 tahun.

Malik Haramain, sekjen GP Ansor mengusulkan agar masa jabatan ketua umum empat badan otonom pengkaderan ini dibatasi selama satu kali saja untuk mempercepat proses pengkaderan.

Sementara itu, Khofifah Indar Parawansa, ketua umum PP Muslimat NU meminta pembatasan usia GP Ansor dan Fatayat NU disesuaikan dengan UU Kepemudaan, yang sekarang ini masih dalam pembahasan di DPR RI. Dari berbagai usulan yang ada dalam RUU itu, usia batasan maksimal organisasi kepemudaan adalah 30-40 tahun. Jika mengambil rentang maksimal, maka batasan usia pengurus badan otonom itu adalah 40 tahun.

Untuk IPNU dan IPPNU, saat ini batasan usia yang dipakai disepakati 30 tahun dengan alas an, pengurus pusat tidak mungkin masih dalam tingkat pelajar menengah, sekaligus untuk member ruang kepada para mahasiswa agar bisa masuk dalam IPNU/IPPNU.

Untuk masa jabatan ketua umum, saat ini IPNU/IPPNU sudah mengatur masa jabatan hanya satu kali dengan periode kepengurusan tiga tahun untuk tingkat pengurus pusat.

Muslimat NU malah diusulkan menggunakan batas keanggotaan minimal, bukan maksimal karena keanggotaannya adalah para ibu-ibu yang sudah menikah atau sudah menginjak usia tertentu. (mkf)

UU KEPEMUDAAN part II

Ansor Sulit Sesuaikan Batasan Umur
Jumat, 11 September 2009 16:34
Jakarta, NU Online

Kesepakatan batasan usia 16-30 dengan masa peralihan 4 tahun dalam UU Kepemudaan menjadi persoalan tersendiri bagi badan otonom NU yang mengkategorikan diri sebagai organisasi pemuda.

Sekjen GP Ansor Malik Haramain mengatakan Ansor tidak bisa mengikuti batasan umur itu jika maksimal usianya 30 tahun karena hal ini sama dengan batasan usia IPNU sebagai organisasi kader NU.

“Harus ada toleransi batasan usia dalam UU tersebut. Batasan umur penting, tetapi jangan menganggu aturan main organiasi yang memiliki batasan usia sendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Penting tapi tidak prinsip,” katanya kepada NU Online, Jum’at (11/9).

Saat ini batasan umur untuk menjadi pengurus GP Ansor 40 tahun. Sejumlah ormas kepemudaan lain seperti KNPI juga memiliki batasan usia sekitar itu sehingga keberadaan UU ini akan menjadi perubahan signifikan jika diberlakukan.

UU Kepemudaan ini baru pertama kali dibuat di Indonesia. Sebelumnya, pembinaan terhadap kaum muda sebelumnya hanya mengacu pada UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Dalam kesempatan lain, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengakui bahwa dewasa ini masih banyak ditemukan warga berusia di atas 40 tahun yang memimpin organisasi pemuda.

"Adanya UU Kepemudaan yang mengatur secara rinci potensi dan pengembangan kepemudaan, akan mampu memaksimalkan peran dan fungsi pemuda dalam berbagai aspek kehidupan," ujar Irwan. (mkf)

UU KEPEMUDAAN

Bagdja: PBNU akan Sesuaikan Batas Usia Pengurus Banom
Jumat, 11 September 2009 17:35
Jakarta, NU Online

Ketua PBNU H Ahmad Bagdja menyatakan pengesahan RUU Kepemudaan yang salah satunya mengatur batasan kategori usia pemuda antara 16-30 tahun dengan masa tenggang 4 tahum akan memudahkan PBNU melakukan pengaturan kepengurusan badan otonom.

“Memang lama dikandung niatbadan otonom yang mengharuskan ada batasan umur seperti IPNU, Ansor, dan Fatayat. Saya kira harus disesuaikan,” katanya kepada NU Online, Jum’at (11/9).

Keberadaan UU ini akan membantu memberi panduan kepada organisasi kepemudaan di NU karena selama jika tidak ada batasan umur dalam perundang-undangan nasional, aturan umur seringkali dirubah-rubah untuk kepentingan calon pengurus agar tetap bisa berkiprah di organisasi itu.

“Para aktifis akan terseleksi dengan sendirinya, meskipun punya keinginan, tetapi jika usianya lewat, akan tahu dengan sendirinya. Akan ada peluang bagi mereka yang berusia 25-27, ini saya kira bagus,” ujarnya.

Mantan Ketua PB PMII ini menyatakan perlunya masa transisi agar proses pergantian kepengurusan yang baru berjalan lancer dan bisa menyesuaikan diri dengan UU Kepemudaan itu.

“Penyesuainnya bagaimana, ya mungkin bertahap. Bagi yang masih pengurus tak masalah, nanti kalau ada konferensi dan pemilihan baru harus menyesuaikan dengan aturan baru ini,” tandasnya.

Mengenai penjenjangan pengurus antara IPNU/IPPNU dan GP Ansor/Fatayat NU, periode kepengurusan di IPNU dibuat lebih pendek sehingga terjadi proses regenerasi yang cepat.

“Prinsipnya dalam organisasi pengkaderan adalah pelatihan kepemimpinan, jadi periodenya nga terlalu lama, 2 tahun cukup, kalau mekanisme ini diambil proses kaderisasi bisa lebih cepat dan tidak sampai bertumpuk diatas,” terangnya.

Tersumbatnya upaya kaderisasi dalam sebuah organisasi akan berdampak buruk karena mereka yang tak tersalurkan bisa melakukan protes dan ketidakpuasan dengan cara yang negatif. “Mereka yang usianya diatas 30 tahun bisa memilih di jalur politik atau yang lain,” tegasnya. (mkf)

Kamis, 27 Agustus 2009

NU Tak Pernah Tertarik Gagasan Khilafah Islamiyah

DIALOG PESANTREN
NU Tak Pernah Tertarik Gagasan Khilafah Islamiyah
Senin, 13 Juli 2009 08:04

Jombang, NU Online
NU tidak pernah tertarik dengan gagasan kekhalifahan Islam atau khilafah Islamiyah. NU justru menegaskan negara nasional, dengan Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final yang sah dan mengikat seluruh warga negara, termasuk umat Islam.

Demikian dikatakan peneliti gerakan Islam radikal M Kholid Syeirazi dalam Dialog Pondok Pesantren se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang, Sabtu (11/9) kemarin.

Dikatakannya, NU tidak terobsesi dengan Arabisasi dan internasionalisasi Islam. NU mewarisi gerakan dakwah Walisongo yang sejak awal adaptif terhadap budaya lokal. Gerakan NU menjalankan substansialisasi Islam, tidak memerangi bentuk tetapi menyusupkan isi.

“Sintesis kreatif ini secara baik ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga, yang menjelma dalam istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, jimat Kalimosodo,” katanya seperti dilaporkan kontributor NU Online Wahib Putra Pamungkas.

Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) ala NU, kata Kholid, merupakan harapan kebangkitan Islam dunia. Dalam hal ini, pesantren sebagai pusat pengajaran Islam Aswaja ala NU harus dapat menopang basis material dan intelektual Aswaja sebagai paham dan gerakan.

Pembicara lainnya dalam sesi dialog bertajuk Peran Strategis Pesantren Dalam Menghadapi Penetrasi Aliran dari Luar Aswaja, Idrus Ramli, mengungkapkan adanya perebutan makna Aswaja. Penulis buku Madzhab Asy’ari Benarkah Aswaja, Jawaban Terhadap Aliran Salafi ini menyatakan, konsep Aswaja saat ini juga diklaim oleh kelompok Salafi Wahabi.

“Kalau kita coba pergi ke toko-toko buku kebanyakan buku mengenai Ahulussunnah yang kita temukan adalah yang tulisan Wahabi,” katanya.

Ditambahkan masifnya serbuan gerakan Wahabisasi secara internasional tidak terlepas dari besarnya dukungan finansial yang menurut informasi mencapai tujuh ratus trilyun rupiah.

Di bagian akhir, KH Aziz Masyhuri dalam kesempatan itu mengingatkan pentingnya pendidikan Aswaja sejak dini. Pendidikan merupakan salah satu strategi bagi pesantren untuk membekali para santri sekaligus menjawab tantangan dari luar yang semakin ketat.

Kiai Aziz menyatakan, pesantren dan NU tidak cukup hanya mengkritik keberadaan faham di luar Aswaja, namun juga harus melakukan introspeksi terkait pengajaran Aswaja di lingkungan pesantren dan madrasah. "Kita tidak cukup mengkritik saja, tapi juga harus melakukan introspeksi diri,” katanya. (yus/nam)

courtessy : www.nu.or.id

Rabu, 26 Agustus 2009

HADITS DHOIF

HADITS DHOIF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin,

Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya,
Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110),
Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits.
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.
(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Atsqalaniy).
Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits dengan sanad dan matannya, dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada th 150 Hijriyah dan wafat pada th 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada th 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah, maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini, mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,
seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka, apa yang mereka fahami dari ilmu hadits, hanya menukil nukil dari beberapa buku saja lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku buku terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku tak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa fatwa Imam Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.
Sungguh buku buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1 juta hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya
Bagaimana tidak, sungguh sudah sangat banyak hadits hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1 juta hadits, lalu kemana hadits hadits itu, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits no.27.688, maka kira kira 970 ribu hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis..! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya, lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan, mengapa
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid2nya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.
Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.
Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.
Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula. Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw.
Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw, ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.
Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya, cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat buat hukum semaunya.
Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.
Sebagaimana berkata Imam Syafii : "Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu baker digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu" (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : "Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang", berkata pula Imam Ibnul Mubarak : "Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad" (Faidhul Qadir juz 1 hal 433)
Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka fahamlah kita, bahwa mereka mereka yang segera menafikan / menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan, contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya,
Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : "dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan".
Walillahittaufiq

JAWABAN ATAS PERNYATAAN YANG MENYUDUTKAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH

JAWABAN ATAS PERNYATAAN YANG MENYUDUTKAN AHLUSSUNNAH WALJAMAAH

Telah disampaikan kepada saya mengenai lembaran pernyataan yang menyudutkan ahlussunnah waljamaah, pertama kali yang muncul dalam hati saya adalah :
1. Lembaran ini bermaksud memecah belah muslimin, membawa fitnah untuk merisaukan masyarakat awam.
2. Saya tak percaya bahwa lembaran ini ditulis oleh para ulama, karena terlalu dangkal sekali dan menunjukkan kebodohan dan awam terhadap ilmu syariah, barangkali lembaran ini hanya ditulis oleh para pemuda yang iseng belaka, namun saya akan coba jelaskan satu persatu Insya Allah.

DALAM HAL SHOLAT
1. Agar meninggalkan kebiasaan membaca Usholi dengan suara keras. Karena niat itu pekerjaan hati, cukup dalam hati saja.

JAWAB
Hal ini merupakan ijtihad Imam Syafii Rahimahullah, barangkali anda belum mengenal siapa imam syafii, Imam Syafii adalah Imam besar yang lahir pada th 150 H, beliau adalah murid Al hafidh Al Muhaddits Imam Malik rahimahullah, beliau sudah hafidh alqur an sebelum usia baligh, dan ia sudah melewati derajat Al Hafidh dimasa mudanya, yaitu telah hafal 100 ribu hadits dengan sanad dan matan, dan beliau telah pula melewati derajat Alhujjah dimasa dewasanya, yaitu hafal 300 ribu hadits dengan sanad dan matan,
Beliau kemudian terus memperdalam Syariah dan hadits hingga diakui oleh para Muhadditsin sebagai Imam, dan salah satu murid beliau sendiri yaitu Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal) hafal 1 Juta hadits dengan sanad dan matan, dan murid Imam syafii banyak yang sudah menjadi Muhaddits dan Imam pula, ratusan para Muhaddits dan Imam yang juga bermadzhabkan syafii jauh setelah beliau wafat, diantaranya Alhafidh Al Muhaddits Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthi, Imam Al Hafidh AL Muhaddits Syarafuddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy dan imam imam lainnya,
Maka sangkalan anda batil karena anda hanya menyangkal tanpa ilmu, bukan seorang mujtahid, apalagi Muhaddits, mengenai penggunaan lafadh itu sudah muncul dalam kalangan Imam Madzhab, maka yang bermadzhabkan syafii boleh menggunakannya, dan tak satupun dalil atau ucapan para Imam dan muhadditsin yang mengharamkannya, lalu bagaimana anda mengharamkannya


2. Ba da shalat, imam tidak perlu baca wirid, dzikir dengan suara keras, cukup dalam hati, dan imam ba da shalat tidak perlu memimpin do a bersama dengan jama ah. Imam dan jama ah berdo a sendiri- sendiri dalam hati.

JAWAB
Rasulullah saw bila selesai dari shalatnya berucap Astaghfirullah 3X lalu berdoa Allahumma antassalam, wa minkassalaam...dst" (Shahih muslim hadits no.591,592)
Kudengar Rasulullah saw bila selesai shalat membaca : Laa ilaaha illallahu wahdahu Laa syariikalah, lahulmulku wa lahulhamdu..dst dan membaca Allahumma Laa Maani a limaa a thaiyt, wala mu thiy..dst" (shahih Muslim hadits no.593)
Hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.808, dan masih banyak puluhan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw berdzikir selepas shalat dengan suara keras, sahabat mendengarnya dan mengikutinya, hal ini sudah dijalankan oleh para sahabat radhiyallahu anhum, lalu tabi in dan para Imam dan Muhadditsin tak ada yang menentangnya.
Mengenai doa bersama sama Demi Allah tak ada yang mengharamkannya, tidak pada Alqur an, tidak pada hadits shahih, tidak Qaul sahabat, tidak pula pendapat Imam Madzhab.


3. Jama ah ba da shalat, tidak perlu mencium tangan imam, cukup bersalaman saja.

JAWAB
Kebiasaan mencium tangan merupakan kebiasaan baik sebagai tanda penghormatan, hal ini telah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibn Abbas ra setelah wafatnya Rasul saw beliau berguru pada Zeyd bin Tsabit ra, maka Ibn Abbas ra disuatu hari menuntun tunggangan Zeyd bin tsabit ra, maka berkata Zeyd ra : "jangan kau berbuat itu", maka berkata Ibn Abbas ra : "beginilah kita diperintah utk menghormati ulama ulama kita", maka turunlah Zeyd bin tsabit ra dari tunggangannya seraya mencium tangan Ibn Abbas ra dan berkata : "Beginilah kita diperintah memuliakan keluarga Rasulullah saw".
(Faidhul Qadir oleh Al hafidh Al Imam Abdurra uf Almanaawiy Juz 2 hal 22), (Is aful Mubtha oleh Al Hafidh Al Muhaddits Imam Assuyuthi ).
Anda lihat kalimat : "beginilah kita diperintah..", kiranya siapa yang memerintah mereka, siapa yang mengajari mereka, mereka tak punya guru selain Muhammad Rasulullah saw.
Riwayat lain adalah ketika Ka b bin malik ra gembira karena taubatnya diterima Allah swt, ia datang kepada Rasul saw dan mencium tangan dan juga kedua paha beliau saw (Fathul Baari Al masyhur oleh Imam Al Hafidh Al Muhaddits Ibn Hajar Al Atsqalaniy juz 8 hal 122)
Riwayat lain : "Kami mendekat pada Nabi saw dan mencium tangan nabi saw" (Sunan Imam Al Baihaqi Alkubra hadits no.13.362)
Riwayat lain : "Berkata Tamiim ra bahwa Mencium tangan adalah sunnah". (Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13.363)
Demikian Rasul saw tak melarang cium tangan, demikian para sahabat radhiyallahu anhum melakukannya.


4. Dalam shalat subuh, imam tidak perlu membaca do a qunut, kecuali bila ada suatu bahaya terhadap kehidupan umat Islam secara keseluruhan.
Do a qunut boleh dibaca disetiap shalat, bila ada keperluan yang bersifat darurat, tidak hanya dalam shalat subuh.

JAWAB
Berikhtilaf para Imam Madzhab mengenai pembacaan doa qunut, dan Imam Syafii berpendapat bahwa Qunut itu diwaktu setiap subuh, dan Imam Hanbali dan Imam Malik berpendapat Qunut adalah setiap waktu shalat.
Namun satu hal.. tidak ada yang mengharamkan Qunut dibaca setiap subuh, bahkan para Mufassirin menjelaskan tak ada qunut kecuali saat shalat subuh, sebagaimana diriwayatkan pada tafsir Imam Attabari Juz 2 hal 566, dan ini merupakan Ijtihad para Imam yang mengeluarkan pendapat dengan beribu pertimbangan, dengan keluasan ilmu syariah yang mendalam, dan telah diakui pula oleh puluhan Imam dan ratusan Huffadhulhadits dan Muhadditsin setelah mereka, maka menyangkal dan mengharamkan hal ini adalah kesesatan yang nyata.


5. Shalat Rawatib / shalat sunah qobliah / ba diah adalah sebagai berikut : Qobla subuh, qobla dan ba da dhuhur, shalat ashar tidak ada rawatib, ba da magrib dan ba da shalat isya.

JAWAB
Banyak riwayat lain mengenai rawatib Qabliyah asar, bahwa Rasul saw shalat Rawatib Qabliyah Asar dan tak pernah meninggalkannya (Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1114, 1118, Shahih Ibn hibban hadits no.2452, Mustadrak ala shahihain hadits no.1173, Sunan Attirmidziy hadits no.429 dan masih terdapat belasan riwayat hadits shahih mengenai shalat Qabliyah Asar diantaranya diriwayatkan pada Shahih Ibn Hibban, Shahih Muslim dll.




DALAM SHALAT JUM AT

1.Sebelum khotib naik mimbar, tidak ada adzan dan tidak ada shalat sunat qobla jum at

JAWAB
Diriwayatkan bahwa ketika jamaah jumat semakin banyak di Madinah maka Khalifah Utsman bin Affan ra menambahkan adzan jumat dengan dua adzan (shahih Bukhari hadits no.870,871,874), maka menggunakan dua adzan ini merupakan sunnah hukumnya, karena Rasul saw telah bersabda : "Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah khulafa urrasyidin para pembawa petunjuk" (shahih Ibn Hibbah, Mustadrak ala shahihain).
Maka tidak sepantasnya kita muslimin menghapuskan hal hal yang telah dilakukan oleh para sahabat, karena sungguh mereka jauh lebih mengerti mana yang baik dijalankan dan mana yang tak perlu dijalankan, pengingkaran atas perbuatan sahabat berarti menganggap diri kita lebih mengetahui syariah dari mereka, dan hal ini merupakan pengingkaran atas hadits Rasul saw yang memerintahkan kita berpegang pada sunnah beliau dan sunnah khulafa urrasyidin, maka pengingkaran atas hal ini merupakan kesesatan dan kebodohan yang nyata.
Mengenai shalat dua rakaat sebelum jum at hal itu adalah sunnah, sebagaimana teriwayatkan dari belasan hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasul saw melakukan shalat sunnah qabliyyah dhuhur dan ba diyah dhuhur, dan para ulama dan muhadditsin berpendapat bahwa shalat jumat adalah pengganti dhuhur, demikian para Muhadditsin dan ulama berpendapat bahwa pendapat yang kuat adalah Qabliyah jumat merupakan sunnah. (Fathul Baari Almasyhur Juz 2 hal 426)


2.ketika khotib duduk diantara dua khutbah, tidak ada shalawat

JAWAB
Tidak pernah ada larangan shalawat diperbuat kapanpun dan dimanapun, shalawat boleh boleh saja dibaca kapanpun dan dimanapun, silahkan munculkan ayat alqur an atau hadits shahih yang mengharamkan membaca shalawat dalam suatu munasabah tertentu, lalu bagaimana terdapat pelarangan dari apa yang tidak diharamkan Allah swt, ataukah ada syariah baru


3. Ba da shalat jum at, imam tidak mempunyai kewajiban untuk memimpin do a bagi makmum dengan suara kuat, silahkan imam dan jama ah berdzikir, wirid dan do a masing- masing

JAWAB
Selama hal itu baik tidak ada salahnya dilakukan, yang tak boleh dilakukan adalah hal hal yang dilarang dan diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya, dan tak pernah ada hadits dan ayat yang mengharamkan hal ini, maka mengharamkannya merupakan pengingkaran atas syariah.


4. Dalam shalat jum at, tongkat yang selama ini dipakai oleh khotib, bukan merupakan sarana ibadah, hanya kebiasaan Khalifah Utsman, sekarang dapat ditinggalkan.


JAWAB
Perbuatan sahabat merupakan hal yang mesti kita jalankan hingga kini, termasuk diantaranya adalah penjilidan Alqur an, sebagaimana tak satu ayat pun atau hadits yang memerintahkan Alqur an untuk dibukukan dalam satu kitab, itu baru dilakukan dizaman Khalifah Abubakar ra, dan selesai pada masa Khalifah Utsman bin Affan ra, maka mereka yang merasa tak perlu mengikuti perbuatan Utsman bin Affan ra berarti mereka pun tak mengakui kitab Alqur an yang ada hingga kini, karena penjilidannya baru dilakukan dimasa sahabat, satu hal yang sangat menyakitkan hati adalah kalimat : "hanya kebiasaan Khalifah Utsman dan sekarang dapat ditinggalkan", seakan akan bagi mereka Amirulmukminin Utsman bin Affan ra itu tidak perlu dipanut, bukan seorang baginda mulia yang sangat agung disisi Allah sebagai Amirulmukminin, padahal beliau ini dimuliakan dan dicintai nabi saw.


5. Sebelum khotib naik mimbar, tidak perlu pakai pangantar dan tidak perlu membaca hadits Nabi SAW tentang jangan berkata-kata ketika khotib sedang khutbah. Tetapi sampaikanlah bersamaan dengan laporan petugas masjid tentang laporan keuangan, petugas khotib dan imam, hal ini sebagai perangkat laporan administrasi masjid bukan proses ibadah dalam shalat jum at.


JAWAB
Baru ini ada muncul ajaran yang mengatakan bahwa kabar laporan keuangan masjid jauh lebih baik dari hadits Nabi Muhammad saw



DALAM SHALAT TARAWIH / WITIR / TAHAJJUD
Dalam bulan ramadhan diwajibkan shaum dan dimalam hari disunnahkan shalat tarawih, witir, yang selama ini masih ada yang berbeda pendapat karena itu perlu dikeluarkan himbauan ini.

1. Shalat tarawih, dilakukan Nabi SAW, sebanyak 8 rakaat dan 3 rakaat witir dapat dilakukan dengan cara 4-4-3.

JAWAB
Rasul saw melakukan shalat malam berjamaah dibulan ramadhan lalu meninggalkannya, dan tak memerintahkan untuk melakukannya, dari sini kita sudah mengetahui bahwa shalat sunnah tarawih adalah Bid ah hasanah, dan baru dilakukan di masa Umar bin Khattab ra, yang mana beliau melakukannya 11 rakaat, lalu merubahnya menjadi 23 rakaat, dan tak ada satu madzhab pun yang melakukannya 11 rakaat, Masjidilharam menjalankannya 23 rakaat, dan Masjid Nabawiy Madinah hingga kini masih menjalankan madzhab Imam Malik yaitu 41 rakaat, tak ada satu madzhab pun yang melakukan 11 rakaat. (Rujuk Sunan Imam Baihaqiy Al Kubra, Fathul Baari Almasyhur, Al Umm Imam Syafii)



2. Tidak disunahkan membaca do a bersama-sama antara rakaat.


JAWAB
Namun tak ada pula hadits yang mengharamkannya, maka tak ada hak bagi muslim manapun untuk mengharamkan hal yang tak diharamkan oleh Allah, dan berdoa boleh saja dilakukan kapanpun dan dimanapun, dan melarang orang berdoa adalah kesesatan yang nyata.


3. Tidak dibenarkan antar jama ah membaca shalawat Nabi bersahut-sahutan


JAWAB
Allah swt memerintahkan kita bershalawat, maka melarang seseorang untuk menjalankan perintah Allah swt Kufur hukumnya.


4. Sebelum ramadhan tidak perlu shalat tasbih dan shalat nisfu sya ban dan sedekah ruwah karena hadits tentang kedua shalat tersebut ternyata dhaif, lemah dan berbau pada hadits maudhu (palsu) karena terputus parawinya dan shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat.

JAWAB
Mengenai shalat Tasbih maka haditsnya jelas diriwayatkan pada Almustadrak ala Shahihain dan berkata Imam Hakim bahwa hadits itu shahih dengan syarat Imam Muslim, dan Ibn Abbas ra melakukannya, dan para Muhadditsin meriwayatkan keutamaannya, dan Rasul saw memerintahkannya (Rujuk Fathul Baari Almasyhur, sunan Imam Tirmidzi, sunan Abi Daud, sunan Ibn Majah, Sunan Imam Baihaqi Alkubra).
Satu hal yang lucu adalah ucapan : "berbau pada hadits maudhu (palsu)", ini baru muncul Muhaddits baru dengan ilmu hadits yang baru pula, yang mana belasan perawi hadits yang meriwayatkan hal itu namun para ulama sempalan ini mengatakan hal itu mesti dihapuskan.


5. Pada shalat witir dibulan ramadhan, tidak perlu ada do a qunut.


JAWAB
Qunut bukan hal yang wajib, Qunut hukumnya sunnah, Qunut pada shalat witr diriwayatkan dengan hadits shahih pada Shahih Imam Ibn Khuzaimah hadits no.1095, Sunan Imam Addaarimiy hadits no.1593, Sunan Imam Baihaqy Alkubra hadits no.4402, Sunan Imam Abu dawud hadits no.1425, dan diriwayatkan pula bahwa membaca qunut witir adalah sesudah setengah pertama ramadhan, yaitu pada setengah kedua (mulai malam 15 ramadhan) (Al Mughniy Juz 1 hal 448) tak ada madzhab manapun yang mengharamkan Qunut di subuh, di witir, bahkan hal ini merupakan sunnah dengan hujjah yang jelas, maka bila muncul pendapat yang mengharamkan Qunut maka jelas bukanlah muncul dari ucapan ulama ahlussunnah waljamaah.



DALAM UPACARA TA ZIYAH

1. Keluarga yang mendapat musibah kematian, wajib bagi Umat Islam untuk ta ziyah selam tiga hari berturut-turut.

JAWAB
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakannya wajib, hal ini sunnah muakkadah, tidak ada dalil ayat atau hadits shahih yang mengatakan takziyah 3 hari berturut turut adalah wajib.


2. Kebiasaan selama ini yang masih melakukan hari ke 7, ke 40 dan hari ke 100 supaya ditinggalkan karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW dan tidak ada tuntunannya. Upacara itu berasal dari ajaran agama Hindu dan Budha, menjadi upacara dari kerajaan Hyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh orang Hindu ketanah melayu tempo dulu.

JAWAB
Mengikuti adat kuffar selama itu membawa maslahat bagi muslimin dan tidak melanggar syariah maka itu boleh saja, sebagaimana Rasul saw pun ikut adat kaum yahudi yang berpuasa di hari 10 Muharram (asyura) karena hari itu hari selamatnya Musa as dari kejaran fir aun, maka Rasul saw pun ikut berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa asyura (rujuk shahih Bukhari, shahih Muslim)
Demikian pula kita menggunakan lampu, kipas angin, karpet, mikrofon, speaker dll untuk perlengkapan di masjid yang kesemua itu adalah buatan orang kafir dan adat istiadat orng kafir, boleh saja kita gunakan selama itu manfaat bagi muslimin dan tidak bertentangan dengan syariah, demikian pula Alqur an yang dicetak di percetakan, dan mesin percetakan itupun buatan orang kafir, dan mencetak buku adalah adat orang kafir, juga Bedug di masjid yang juga adat sebelum Islam dan banyak lagi.
Boleh boleh saja kumpul kumpul dzikir dan silaturahmi dirumah duka 7 hari, 40 hari, bahkan tiap hari pun tak apa karena tak pernah ada larangan yang mengharamkannya.



3. Dalam ta ziyah diupayakan supaya tidak ada makan-makan, cukup air putih sekedar obat dahaga.

JAWAB
Bukankah air putih pun merupakan hidangan, bila anda mengharamkan hidangan bagi yang takziah, lalu dalil apa yang anda miliki hingga anda memperbolehkan air minum dihidangkan, telah sepakat Ulama bahwa hidangan di tempat rumah duka hukumnya makruh, sebagian mengatakannya mubah.


4. Acara dalam ta ziyah baca surat Al Baqarah 152-160, kemudian adakan tabligh yang mengandung isi kesabaran dalam menerima musibah tutup dengan do a untuk sang almahrum, tinggalkan kebiasaan membaca surat yasin bersama-sama, tahlil dan kirim fadhilah, semua itu ternyata hukumnya bid ah.

JAWAB
Aturan mana yang menentukan Al Baqarah 152-160 dirangkai Tabligh lalu ditutup dengan doa, anda pun mengada ada saja tanpa Nash yang jelas dari hadits shahih.
Tahlil, Yaasiin dan dzikir yang dihadiahkan pada mayyit merupakan amal amal yang dikirimkan pada mayyit, dan itu diperbolehkan oleh Rasul saw, sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang wanita datang pada Rasul dan bertanya : "wahai rasulullah, aku bersedekah dengan membebaskan budak dan pahalanya kukirimkan untuk ibuku yang telah wafat, bolehkah, Rasul memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : ibuku sudah wafat dan belum haji, bolehkah aku haji untuknya, Rasul saw memperbolehkannya, lalu wanita itu berkata lagi : "wahai Rasulullah, ibuku wafat masih mempunyai hutan puasa ramadhan sebulan penuh, maka bolehkah aku berpuasa untuknya, maka Rasul saw menjawab : Boleh (shahih Muslim)



DALAM UPACARA PENGUBURAN

1. Tinggalkan kebiasaan dalam shalat jenazah dengan mangajak jama ah untuk mengucapkan kalimat bahwa "jenazah ini orang baik, khair khair" Hal ini tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, dan tidak ada hadits sebagai pembimbing.

JAWAB
Ketika lewat sebuah jenazah dihadapan Rasul saw maka para sahabat memujinya dengan kebaikan, maka Rasul saw berkata : "semestinya.. semestinya.. semestinya..", lalu tak lama lewat pula jenazah lain, dan para sahabat mengutuknya, maka rasul saw berkata : "semestinya.. semestinya.. semestinya..". maka berkatalah Umar bin Khattab ra mengapa beliau berucap seperti itu, maka Rasul saw menjawab : "Barangsiapa yang memuji jenazah dengan kebaikan maka sepantasnya baginya sorga, dan barangsiapa yang mengutuk jenazah dengan kejahatannya maka sepantasnya baginya neraka, kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.., Kalian adalah saksi Allah dimuka Bumi.." (shahih Muslim hadits no.949, Shahih Bukhari hadits no.1301),
Lalu ketika dimasa Umar bin Khattab ra menjadi khalifah pun terjadi hal yang sama yaitu lewat jenazah maka orang orang memujinya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : "sepantasnya..", lalu lewat jenazah lain dan orang orang mengumpatnya, maka Amirulmukminin Umar bin Khattab ra berkata : "sepantasnya..". maka para sahabat bertanya dan berkata Amirulmukminin Umar bin Khattab ra : "tiadalah jenazah disaksikan 4 orang bahwa dia orang baik maka ia masuk sorga", lalu kami bertanya : Bagaimana kalau tiga saja yang bersaksi, beliau ra menjawab : "walaupun tiga". Lalu kami bertanya lagi : Bagaimana kalau dua orang saja.., maka beliau ra menjawab : "dua pun demikian". Maka kami tak bertanya lagi". (shahih Bukhari hadits no.1302), oleh sebab itu sunnah kita mengucapkan : "khair..khair.." pada jenazah dengan Nash yang jelas dan shahih dari shahihain dll.
Apapun yang dijadikan fatwa, namun fatwa fatwa diatas adalah batil dan tidak dilandasi pemahaman yang jelas dalam syariah Islamiyah, oleh sebab itu saya menilai bahwa segala fihak yang menyebarkan selebaran ini sebelum kami beri penjelasan seperti sekarang ini, maka ia turut bertanggung jawab atas kesesatan ummat yang membacanya.
Wassalam.

This is Aswaja or not ?

PENDIDIKAN KADER DAKWAH LDNU

Banyak Kelompok Ahlusunnah Menghancurkan Ahlussunnah
Rabu, 26 Agustus 2009 14:09
Jakarta, NU Online



Banyak kelompok mengaku sebagai Ahlussunnah, namun mereka justru menghancurkan Ahlussunnah itu sendiri. Mereka mengaku sebagai Ahlussunnah, namun selalu membid'ahkan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh orang-orang Ahlussunnah wal Jamaah.Kondisi ini adalah salah satu alasan yang membuat Pengurus Pusat lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) menyelenggarakan Pendidikan Kader Dakwah Ahlussunnah wal Jamaah. Demikian dinyatakan Sekretaris Jenderal PP LDNU KH Khoirul Huda Basyir kepada NU Online, Rabu (26/8)."Sudah seharusnya, peningkatan kualitas para dai dan daiyah kualitas para dai turut dipikirkan oleh ormas-ormas yang menaungi para dai dan daiyah tersebut. Agar para kader dakwah lebih mumpuni dan memiliki kemampuan survive di lapangan," tutur Khoirul Huda.Menurut Khoirul Huda, Pendidkan kader dakwah tentu sangat bermanfaat bagi para dai dan daiyah, terutama untuk meningkatkan jalinan kerjasama di antara pada dai dalam membendung arus fundamentalisme yang terus mengikis nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah."Terutama sekali agar mereka dibekali dengan berbagai pemahaman mengenai teks-teks keagamaan agar tidak terjebak dalam tekstualitas semata. Para dai harus dibekali kemampuan memahami, agar bukan hanya karena mendengar satu atau dua hadits saja, lalu kemudian mengkafirkan sana-sini," tandas Khoirul Huda. (min)



courtessy : www.nu.or.id

Rabu, 22 Juli 2009

SEJARAH NU

SEJARAH NU 

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sejarah IPNU - IPPNU

*Sejarah IPNU

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H/ 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konbes LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), dan Abdul Ghony Farida (Semarang).

Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.

Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.

Visi IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia dan berwawasan kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk mewujudkan visi tersebut, IPNU melaksanakan misi: (1) Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi; (2) Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa; (3) Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya khaira ummah; (4) Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi.

Sebagai salah satu perangkat organisasi NU, IPNU menekankan aktivitasnya pada program kaderisasi, baik pengkaderan formal, informal, maupun non-formal. Di sisi lain, sebagai organisasi pelajar, program IPNU diorientasikan pada pengembangan kapasitas pelajar dan santri, advokasi, penerbitan, dan pengorganisasian pelajar.


Kini IPNU telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah di tingat provinsi dan 374 Pimpinan Cabang di tingkat kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2008, anggota IPNU telah mencapai lebih dari 2 juta pelajar santri yang telah tersebar di seluruh Indonesia.


*Sejarah IPPNU

Sejarah kelahiran IPPNU dimulai dari perbincangan ringan oleh beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, tentang keputusan Muktamar NU ke-20 di Surakarta. Maka perlu adanya organisasi pelajar di kalangan Nahdliyat. Hasil obrolan ini kemudian dibawa ke kalangan NU, terutama Muslimat NU, Fatayat NU, GP. Ansor, IPNU dan Banom NU lainnya untuk membentuk tim resolusi IPNU putri pada kongres I IPNU yang akan diadakan di Malang. Selanjutnya disepakati bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang dinamakan IPNU putri.

Dalam suasana kongres, yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari – 5 Maret 1955, ternyata keberadaan IPNU putri masih diperdebatkan secara alot. Rencana semula yang menyatakan bahwa keberadaan IPNU putri secara administratif menjadi departemen dalam organisasi IPNU. Namun, hasil pembicaraan dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan eksklusifitas IPNU hanya untuk pelajar putra. Melihat hasil tersebut, pada hari kedua kongres, peserta putri yang terdiri dari lima utusan daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan jajaran teras Badan Otonom NU yang menangani pembinaan organisasi pelajar yakni PB Ma’arif (KH. Syukri Ghozali) dan PP Muslimat (Mahmudah Mawardi). Dari pembicaraan tersebut menghasilkan beberapa keputusan yakni:

* Pembentukan organisasi IPNU putri secara organisatoris dan secara administratif terpisah dari IPNU 
* Tanggal 2 Maret 1955 M/ 8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU putri. 
* Untuk menjalankan roda organisasi dan upaya pembentukan-pembentukan cabang selanjutnya ditetapkan sebagai ketua yaitu Umroh Mahfudhoh dan sekretaris Syamsiyah Mutholib. 
* PP IPNU putri berkedudukan di Surakarta, Jawa Tengah. 
* Memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU putri kepada PB Ma’arif NU. Selanjutnya PB Ma’arif NU menyetujui dan mengesahkan IPNU putri menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). 

Dalam perjalanan selanjutnya, IPPNU telah mengalami pasang surut organisasi dan berbagai peristiwa nasional yang turut mewarnai perjalanan organisasi ini. Khususnya di tahun 1985, ketika pemerintah mulai memberllakukan UU No. 08 tahun 1985 tentang keormasan khusus organisasi pelajar adalah OSIS, sedangkan organisasi lain seperti IPNU-IPPNU, IRM dan lainnya tidak diijinkan untuk memasuki lingkungan sekolah. Oleh karena itu, pada Kongres IPPNU IX di Jombang tahun 1987, secara singkat telah mempersiapkan perubahan asas organisasi dan IPPNU yang kepanjangannya “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama” berubah menjadi “Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama”.

Selanjutnya, angin segar reformasi telah pula mempengaruhi wacana yang ada dalam IPPNU. Perjalanan organisasi ketika menjadi “putri-putri” dirasa membelenggu langkah IPPNU yang seharusnya menjadi organisasi pelajar di kalangan NU. Keinginan untuk kembali ke basis semula yakni pelajar demikian kuat, sehingga pada kongres XII IPPNU di Makasar tanggal 22-25 Maret tahun 2000 mendeklarasikan bahwa IPPNU akan dikembalikan ke basis pelajar dan penguatan wacana gender.

Namun, pengembalian ke basis pelajar saja dirasa masih kurang. Sehingga pada Kongres ke XIII IPPNU di Surabaya tanggal 18-23 Juni 2003, IPPNU tidak hanya mendeklarasikan kembali ke basis pelajar tetapi juga kembali ke nama semula yakni “Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama”. Dengan perubahan akronim ini, IPPNU harus menunjukkan komitmennya untuk memberikan kontribusi pembangunan SDM generasi muda utamanya di kalangan pelajar putri dengan jenjang usia 12-30 tahun dan tidak terlibat pada kepentingan politik praktis yang bisa membelenggu gerak organisasi. Namun perlu juga dipahami bahwa akronim "pelajar" lebih diartikan pada upaya pengayaan proses belajar yang menjadi spirit bagi IPPNU dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan seluruh komponen masyarakat Indonesia dengan mengedepankan idealisme dan intelektualisme.